Sepertinya
boleh cerita sedikit tentang aku sendiri. Tentunya namaku Wendy, dan aku lebih
suka dipanggil ‘Wendy’ daripada ‘Wen’, ‘Ndy’, atau ‘Dy’. Usiaku baru beranjak
23 tahun. Fisikku dibilang seksi juga ngga, tapi dibilang jelek juga ngga—cukup
kalau pakai baju apapun, atau setidaknya hampir apapun, katanya terlihat bagus.
Tinggiku 170 sentimeter, beratku 66 kilogram. Aku lumayan sering berenang, jadi
meski perutku sedikit menonjol, sebenarnya kulitku lumayan kencang dan tubuhku
lumayan proporsional—selama aku tidak mengenakan kaus ketat. Fitur fisikku yang
lumayan menonjol, dan aku sebenarnya kurang suka, adalah cukup lebatnya bulu di
beberapa bagian tubuh: lengan, paha atas dan bawah, perut menjalar ke kemaluan,
ketiak, dan, ahem, di sekitar lubang pantat. Fitur ini cukup menonjol karena
umumnya orang-orang yang seketurunan denganku, keturunan berinisial T, tidak
berbulu, atau setidaknya hanya sedikit saja berbulunya. Aku suka risih dengan
hal ini dan beberapa kali aku mencoba waxing untuk menghilangkannya. Tapi
anehnya banyak juga yang ngaku suka dengan fisikku apa adanya (setidaknya bukti
obyektifnya kalau di tempat pemandian kolam renang aku suka mendapat perhatian,
di mana bulu-buluku justru terlihat lebih jelas karena basah setelah berenang).
Wajahku oval, tapi tidak lancip seperti cowo-cowo umumnya. Dan, ya, aku sering
dikira orang keturunan campuran—makanya sering disapa dengan bahasa Inggris
saat di dalam taksi atau di resepsionis hotel. Secara keseluruhan penampilanku
cukup trendi. Aku suka mengikuti tren busana dan mencocokkannya dengan seleraku
sendiri. Dan poin dari penjelasan panjang tentang aku ini sebenarnya apa aku
juga bingung—bercanda. Poinnya adalah maka dari itu aku sadar sering ada
pria-pria, umumnya di tempat-tempat seperti kafe ini yang melirikku. Dan
terkadang aku merespon lirikan mereka dengan tersenyum.
Dan
sepertinya Budi menyadari juga hal ini: seorang pria melirikku dan aku membalas
dengan tersenyum. Dia sempat melihatku tersenyum dan melihat ke arah belakangnya.
Setelah itu dia hanya diam dan terlihat makin jengkel. Kalau dipikir logis, toh
Budi sudah menolakku sebelumnya, jadi tentunya kalau akhirnya aku kenalan
dengan pria lain pun mestinya boleh dong. Kalau dipikir logis. Tapi suasana
kita berdua sepertinya menunjukkan adanya main perasaan—CLBK istilahnya.
Sejak
tadi saat Budi menunjukkan dirinya setelah kita bertukar pesan—dia tadinya
duduk di dalam ruang bebas asap rokok dan aku duduk di ruangan merokok—sejak
tadi dia hanya diam setelah sebentar saling menyapa dan dia mempersilahkan
dirinya sendiri untuk duduk. Budi orangnya cukup ramah, supel, dan biasanya
gentleman banget. Tapi kali ini dia terlihat murung bercampur jengkel dan
seakan sedang ada banyak pikiran. Mungkin agak keterlaluan juga kalau aku
menggoda pria lain di saat kita baru bertemu setelah sekian lama tidak—tadi itu
benar-benar refleks karena pria yang senyum tipeku. Orangnya berbadan besar,
meski tidak tinggi, mengenakan kemeja abu-abu dan jas hitam, dan wajahnya cukup
ok. “Udah, udah, berenti mikirin cowo tadi. Balik ke Budi,” pikirku.
Belum
lama setelah aku memutuskan untuk memberi lebih perhatian ke Budi, lampu kafe
ini dimatikan—tanda akan tutup dan mengusir tamu-tamunya yang ngga sadar waktu
seperti kita, yang masa bodoh kalau mereka juga perlu istirahat. Kita pun
keluar dari kafe ini, berdua. Aku setuju mengantarnya ke rumahnya karena dia
tidak membawa mobilnya. Kita berjalan di keheningan, agak kikuk dan serasa
ingin berdekatan tapi juga menjaga jarak. Untungnya tak lama kemudian, sembari
masih berjalan, Budi mendapat panggilan telepon.
Budi
mengangkat telepon itu, tangan satunya diangkat memberiku sinyal dia butuh
waktu sebentar, dan dia berjalan agak menjauh. Aku dari beberapa meter tetap
memperhatikannya, meski tidak dapat mendengar pembicaraannya. Wajah pamanku
tampak dengan cepat berubah pucat dan, entah apa cuma perasaanku, juga terlihat
sedih. Mungkin hanya perasaanku, pikirku.
Seusai
Budi menutup panggilan itu, dia kembali ke dekatku. “Budi ada urusan mendadak.
Wendy pulang duluan saja.”
Melihat
ekspresi wajahnya yang tersenyum dipaksakan itu aku mencoba untuk menghiburnya.
Aku lalu merangkulnya dan membuka mulut mau bicara, tapi tiba-tiba Budi
mengerang dan sedikit melompat menjauh dari rangkulanku. Keenakan disentuh juga
seharusnya ngga seperti itu reaksinya, “Jadi kenapa coba?” tanyaku dalam hati.
“Budi
kenapa sih? Dari tadi rada aneh sikapnya.”
“Ngga
apa, kemarin habis jatuh aja jadi agak sakit di punggung,” jawabnya.
“Aneh.
Sini coba aku lihat,” kataku mendekatinya, berniat untuk hanya menarik kerah
kausnya dan memeriksa sedikit punggungnya. Tapi Budi tiba-tiba menjauh dan
bilang, “Ngga usah. Ya sudah sampai ketemu lain kali ya, Wendy.”
Karena
posisi kita sebenarnya sudah di area parkiran dan dekat dengan mobilku, aku bergegas
menarik lengan Budi. Aku penasaran saja, dan berasa ada firasat buruk. Aku
berjalan dengan cepat dengan Budi, dan sesampainya di mobil aku memaksanya
masuk dan duduk di kursi penumpang depan. Sebenarnya, kalau dipikir-pikir, Budi
yang bertubuh atletis dengan otot-otot yang terlihat menonjol bahkan dalam
balutan kaus berlengan panjangnya mestinya dapat dengan mudah menepis
genggamanku di lengannya tadi. Tapi aku tidak berpikir lebih lanjut soal
ini—aku segera masuk dan duduk di kursi pengemudi.
“Kamu
kenapa sih?” tanyaku dengan nada tidak sabar. Budi hanya diam melihatku,
wajahnya terlihat antara jengkel dan lelah. Dia kemudian menghela nafas dan
melihat ke depannya, tanpa menjawabku satu kata pun. “Jatuh kayak gimana bisa
kena punggung sampek sakit gitu?” tanyaku lagi, tetap tidak dijawabnya.
Aku
menggenggam ujung kaus pamanku. Dia tidak melawan. Lalu aku pelan-pelan
menariknya ke atas, melepaskannya dari tubuhnya. Selagi menariknya dengan
perlahan-lahan, kulit tangan dan jari-jariku bersentuhan dengan kulitnya,
melewati lekukan-lekukan otot perut dan belahan antara perut dan dadanya, lalu
leher dan dagunya, dan terakhir melewati lengan dan tangannya sampai bajunya
seluruhnya terlepas. Begitu terdefinisi lekukan-lekukannya, aku agak nafsu
melakukan hal ini.
Meski
di kegelapan di dalam mobil di area parkiran ini aku dapat melihat garis-garis
di sekujur tubuh bagian belakang Budi. Garis-garis gelap yang tebal yang jelas
adalah luka-luka yang tidak mungkin didapatkan dari yang namanya jatuh—kecuali
jatuh dan berguling-guling ditabrak motor terpental ke pagar dengan dada
membusung, mungkin. Aku belum berkata apa-apa, masih bingung. Budi, pamanku
juga sejenak terdiam lalu menangis. Tangisannya tanpa isakan, dan dia terlihat
menggigit bibirnya berusaha menghentikan luapan emosinya, tapi tubuhnya
bergetar tanpa dapat ditahannya. Sudah dua kali aku melihat pamanku
menangis—sebelumnya sewaktu kejadian dengan Rustam. Melihatnya seperti ini
berbagai macam hal terlintas di pikiranku, berbagai macam emosi menjadi satu juga,
terutamanya aku juga ikut sedih dan marah seakan sudah jelas luka-luka itu
perbuatan seseorang.
Aku
tentunya tidak dapat memeluknya dari posisiku sekarang, dan aku pikir itu juga
bakal membuatnya kesakitan lagi. Aku cuma tetap duduk, dan tangan kiriku
menggapai kepalanya, mengelusnya. “Ada aku kok,” kataku agak kikuk. Aku kurang
tahu cara menghibur orang. Tapi saat itu juga aku makin yakin aku masih sayang
Budi dan aku ingin dia tahu aku ada untuknya. Beberapa saat terlewati dengan
Budi masih menangis. Orang yang sosoknya yang seharusnya pria dewasa, bertubuh
atletis, dan sikapnya yang biasanya gentleman—dan sekarang menangis seakan
sudah tidak tahan dengan semua yang dia alami.
Selang
beberapa menit sampai akhirnya tangisan Budi reda. Budi mulai berbicara, dan
rupanya dia menceritakan apa yang selama ini terjadi padanya sambil aku
mengemudi keluar dari area parkir.
Baru-baru
ini Budi rupanya mendapat tawaran kerja sama dari teman Rustam. Budi seorang
kontraktor dan arsitek freelance. Teman Rustam ini bernama Donny. Donny
mengontrak Budi untuk membangun rumah di Bali untuk digunakannya sebagai vila.
Meski hubungan Budi dengan Rustam buruk, Budi tidak menolak proyek itu karena,
toh ini proyek beneran dari orang lain, pikirnya saat itu.
Sebenarnya
Budi kurang punya kontak dengan penyedia bahan-bahan bangunan di Bali karena
itu proyek pertamanya di sana. Selama ini Budi lebih berkonsentrasi mengerjakan
proyek-proyek rukan perkantoran di Jakarta. Dan ketika itu Donny
memperkenalkannya dengan temannya yang tinggal di sana dan memiliki usaha
penyedia bahan bangunan. Sewaktu semua negosiasi sudah selesai dan proyek
pembangunannya sudah dimulai, tiba-tiba teman Donny kabur membawa uang muka
yang sudah diberikan.
“Gue
ngga mau tahu, pokoknya lu kejar dia sampai dapet kalo ngga lu balikin uang
gue,” kata Donny saat dia mendapat kabar temannya kabur dari Budi. Budi sudah
berusaha mencari tahu keberadaan teman Donny, sampai-sampai menghubungi polisi
sekitar untuk melaporkan pencurian. Tapi setelah seminggu pun belum ada
perkembangan soal itu.
Dan
akhirnya Donny menghampiri Budi di motel murah tempatnya tinggal sementara di
Bali. Donny menolak untuk membayar semua ahli bangunan yang sudah dipanggil
Budi, dan juga menolak Budi untuk melanjutkan pembangunannya, serta memaksa
Budi untuk antara berhasil mendapatkan kembali uangnya atau mengembalikannya
sendiri. Sebenarnya Budi sudah siap untuk meminta pinjaman dari bank, tapi...
Hari
itu cuaca sedang memburuk dan Donny tiba-tiba menghampirinya di kamar motelnya
bersama dua pria lain. Dia tidak mengenali kedua pria itu, Anto dan Zeni. Donny
saat itu juga menyuruh kedua pria itu untuk menyergap Budi dan melucuti
pakaiannya. Kedua pria ini bertubuh tinggi dan tegap, badannya berotot besar
melebihi Budi. Donny sendiri tubuhnya tinggi dan besar meski tidak atletis dan
perutnya besar. Ketiga pria ini berkulit gelap, dan tampang ketiganya cukup keras.
“Gue denger dari Rustam loe suka dipake,” ujar Donny. “Maka itu bersyukurlah
gue mau pake loe.”
Awalnya
Budi mencoba melawan, tapi gagal dan mulutnya dibungkam dan disumpal dengan
handuk. Budi cuma bisa mengerang-erang memberontak selagi Zeni duduk di atas
punggung Budi yang telentang di lantai dan menahan kedua tangannya. Anto
melepas celana Budi dengan cepat, lalu Zeni membalik badan Budi, Anto melepas
ikat pinggangnya untuk mengikat kedua tangan Budi. Saat itu juga Donny melepas
celananya sendiri dan dia berdiri memamerkan kontol yang hitam pekat, panjang,
dan tebal. Kontolnya agak bengkok ke bawah, panjangnya sekitar 17 sentimeter,
dan kepala kontolnya sangat besar. Selain kontolnya, buah zakarnya juga hitam
besar-besar. Melihat ini semua Budi hanya menyesal telah kurang hati-hati
dengan teman Rustam ini.
Selesai
mengikat tangan Budi, Anto berlutut di hadapan kontol Donny dan mulai
menghisapnya. Anto melakukannya tanpa menunjukkan ekspresi apapun, seakan itu
memang sudah kewajibannya. Melihat itu Budi hanya terdiam bingung. Tapi tak
lama kemudian Donny melepas kontolnya yang besar dan sepenuhnya ngaceng dari
mulut Anto, lalu berjalan ke arah Budi. Tubuh Budi masih tertelungkup dengan
Zeni duduk di sebelahnya, tangannya menahan kepala Budi, dan kedua tangan Budi
terikat. Donny duduk dengan berlutut di atas Budi, dan dengan hanya dibasuh air
liur Anto kontolnya disodokkak ke bokong Budi. Awalnya memang tidak langsung
masuk, tapi setelah disodokkan berkali-kali dengan asal, akhirnya kontol itu
masuk juga ke lubang Budi. Budi merasa sakit luar biasa, dan dia pun mengerang
kesakitan dan menggigit handuk yang tadi disumpelkan dalam mulutnya.
Donny
mengentoti Budi dengan kasar dan penuh tenaga. Tiap kali Donny menyodokkan
kontolnya masuk, Budi dapat merasakan dinding prostatnya disodok juga. Dan Budi
mulai tidak dapat menahan nafsu. Kontolnya mulai ngaceng meski terhimpit di
antara tubuhnya dan lantai. Selang dua menit dan Donny sudah tidak dapat
menahan dirinya lagi. Donny segera melepas kontolnya dan mengeluarkan pejunya
di sekujur punggung Budi.
Budi
sempat, meski merasa bersalah berpikir—dia sempat kecewa karena dia belum
keluar dan Donny sudah selesai. Lalu Budi menoleh ke belakang, dan di matanya
terlihat dua laki-laki yang sedang melepas pakaian. Setelah bertelanjanglah
baru Budi sadar betapa atletisnya mereka—lebih dari atletis, Zeni dan Anto
berotot besar-besar, terutama Anto. Dada Anto yang berotot besar dan berbulu
menarik perhatian Budi—juga putingnya yang hitam dan tampak keras. Kedua pria
ini, entah apanya Donny, menghampiri Budi. Zeni duluan berlutut, membasahi
kontolnya dengan ludah, dan segera memasuki Budi. Budi tidak sempat
memperhatikan kontol Zeni, tapi dari dalam lubangnya dia dapat merasakan
sesuatu yang panjang meski tidak tebal—sesuatu yang seperti ular di dalam. Di
sampingnya Anto berdiri sambil mengelus-elus kontolnya sendiri dan Donny yang
duduk di samping memperhatikan itu semua.
Sambil
mengentot Zeni meremas-remas bokong Budi. Saat itu Budi makin pasrah dan
menikmati permainan ini. Tak lama dia melepas kontolnya dan Anto
menggantikannya mengentoti Budi. Keduanya terus bergantian sampai saat Anto
menarik Budi dan mendekapnya. Anto terlentang dan Budi didekap di atas
tubuhnya, kontolnya pun masih ada di dalam lubang Budi. Dari belakang Zeni
menghampiri keduanya dan dengan agak jongkok dia merapat. Kontolnya diarahkan
ke lubang Budi, di mana kontol Anto masih memenuhi. Budi berpikir bahwa mungkin
ini akan memudahkan mereka untuk bergantian mengentotinya, tapi bukan itu yang
terjadi. Budi dapat merasakan kontol Zeni menempel tepat di atas pangkal kontol
Anto dan lingkar lubangnya. Perlahan Budi merasakan sakit yang luar biasa saat
kontol itu dipaksa masuk sedikit demi sedikit. Akhirnya dua kontol itu bersatu
di dalam lubang Budi. Dua kontol pria dewasa yang membuat Budi merasa lubangnya
sudah ditarik paksa lewat dari batas.
Anto
awalnya hanya terdiam menahan tubuh Budi saat Zeni bergerak maju-mundur,
kontolnya bergesekan dengan dinding lubang dan kontol Anto. Baru setelah posisi
mereka mulai mantap Anto juga ikut bergerak naik turun. Kedua kontol itu
bergerak masuk dan keluar bergantian. Gerakannya semakin cepat membuat Budi
mabuk. Budi juga mulai menikmati dua kontol itu di dalamnya. Zeni lebih dahulu
mencapai klimaks. Zeni bergegas mengeluarkan kontolnya dan mengocoknya.
Semburan spermanya hangat membasahi punggung Budi lagi. Tak lama kemudian Budi
pun mengeluarkan pejunya meski tanpa disentuh, membasahi perut dan dada Anto di
bawahnya. Anto main lebih lama, terus mengentoti Budi di saat dia sudah
melemas. Setelah beberapa menit kemudian barulah Anto juga melepaskan kontolnya
dan mengeluarkan benihnya, kali ini di sekitar selangkangan dan paha Budi.
Terdengar
suara rintikan hujan yang dengan cepat menjadi keras. Saat itu Budi berpikir
sambil bernafas tidak teratur bahwa semua ini sudah selesai, tapi rupanya Donny
tidak berpikir begitu. Seusai Zeni dan Anto, Donny sudah siap dengan kontol
besarnya yang sudah sepenuhnya ngaceng lagi. Tanpa menunggu supaya Budi dapat
bernafas lega, dia mulai mengentoti Budi lagi dan disusul kembali oleh Zeni dan
Anto secara bergiliran. Hal ini berlangsung selama dua kali lagi sampai
akhirnya Budi kelelahan untuk dapat ereksi lagi. Badan Budi berkeringat dan
kulitnya panas dan kemerahan seperti orang demam. Kesadaran Budi mulai menipis
meski di sekitarnya masih ada Donny, Anto, dan Zeni.
Melihat
itu Donny seakan mendapat ide. Saat itu Budi sudah kurang sadar lagi apa yang
sedang terjadi. Donny sepertinya memberi instruksi pada Anto dan Zeni untuk
membawanya ke kamar mandi. Sebenarnya motel ini cuma memiliki dua kamar mandi,
satu kamar mandi pria dan satunya lagi kamar mandi wanita dan keduanya dipakai
bersama antara para tamu motel (atau bergantian kalau mereka malu mandi
bersama). Kamar mandi pria terletak di ujung utara dan yang untuk wanita di
ujung selatan motel ini. Kebetulan kamar Budi bersebelahan dengan kamar mandi
pria, jadi mereka dengan mudahnya mengangkut Budi ke sana tanpa sepengetahuan
pihak hotel.
Di
kamar mandi saat itu sedang ada lima pria lainnya yang sedang mandi. Kamar
mandi itu bentuknya seperti pemandian umum terbuka dengan beberapa shower yang
saling bersebelahan dan beberapa kubik WC tertutup dan wastafel di sisi
seberangnya. Pria-pria ini mandi tanpa saling memperdulikan satu sama lain. Ada
yang benar-benar telanjang dan ada juga yang masih mengenakan celana dalam.
Hanya sesampainya Anto dan Zeni masuk membawa Budi yang hanya dililit handuk di
pinggulnya baru pria-pria ini pandangannya tertuju pada mereka.
Anto
dan Zeni segera bertelanjang diri. Lalu mereka membawa Budi ke depan shower dan
menyalakannya. Air yang dingin menyembur ke arah Budi dan mengagetkannya dari
tidurnya. Budi terkaget dan berusaha memberontak, tapi Zeni dengan cepat
menahan tubuh Budi dan mendorongnya ke dinding. Budi sejak tadi memang sudah
mulai demam dan tubuhnya terasa sangat lemas, dan usahanya untuk berdiri dan
melepaskan diri dari Zeni seperti tidak berarti. Bahkan Budi masih belum
tersadar kalau dia menjadi tontonan pria-pria di sekitarnya.
Anto
mengambil sabun dari wastafel dan mulai mandi. Dia mandi sedekat mungkin dengan
Budi. Sedangkan Zeni berdiri dan menggesek-gesekkan kontolnya di muka Budi yang
sudah mulai pasrah dan pandangannya mulai kabur. Di mata Budi hanya terlihat
kontol Zeni dan buah zakarnya yang berkulit coklat gelap.
Pria-pria
di sekitar seakan kebingungan, mereka tanpa sadar berhenti dari aktifitas mandi
mereka dan terfokus memandang mereka bertiga. Ada pun dari mereka yang
kontolnya sudah mulai ngaceng. Budi cukup mencolok di sana karena dia tampan
dan tubuhnya cukup seksi meski Zeni dan Anto bahkan lebih kekar. Ada sesuatu
dari kondisi Budi saat itu yang menarik perhatian pria-pria ini—entah apakah
itu iba atau murni nafsu. Satu dari pria-pria ini memberanikan diri menghampiri
ketiganya.
Pria
ini berusia sekitar 30-an. Tubuhnya pendek dan terlihat kecil meski perutnya
buncit. Kontolnya sudah tegang semenjak dia melihat adegan itu. Pria ini
melihat ke arah mata Zeni dan Anto, dan seperti mendapat ijin, dia maju
menghampiri Budi. Segeralah dia menghujamkan kontolnya ke dalam mulut Budi,
seakan mulutnya memang lubang untuk itu. Tangan kirinya menahan di dinding dan
tangan kanannya menahan kepala Budi dan dia pun maju mundur menyodok-nyodokkan
kontolnya.
Tak
lama kemudian pria-pria lain yang tadinya hanya melihat berkumpul di sekitar
mereka. Ada yang tua, ada yang benar-benar gemuk, ada yang kontolnya raksasa.
Yang pasti semuanya sudah bertelanjang bulat sewaktu mereka mengerumuni Budi.
Setelah
bergiliran mengentoti mulut Budi, Anto berinisiatif menarik kaki Budi supaya
terlentang di lantai dan dengan kedua kakinya dibuka selebar mungkin dia
memainkan lubang pantat Budi dengan jari-jarinya. Kemudian Anto melihat ke
pria-pria di sekitarnya seakan memberi isyarat dan segeralah satu dari mereka
maju dan berlutut menghadap lubang Budi menggantikan posisi Anto.
Pria-pria
yang mungkin sudah menikah dan istrinya sedang mandi di ujung lain hotel ini
seperti tidak peduli lagi dengan apa yang mereka perbuat. Semuanya bergantian
mengentoti Budi seakan tak peduli Budi menjadi korban kebejatan mereka.
Semuanya mengentoti tanpa variasi, seakan mengemban misi untuk secepatnya
mengisi Budi. Budi hanya bisa pasrah mendapati itu semua. Tubuhnya lemas dan
nafasnya sudah tidak karuan. Dia bahkan sudah terlalu lelah, fisik dan mental,
untuk dapat ngaceng lagi dan menikmati kejadian itu. "Apa ini kenyataan
sebenarnya dunia pria?" tanyanya dalam hati.
Setidaknya
tadi, sewaktu dia digilir oleh Donny dan lainnya, lubangnya tidak menerima peju
mereka. Kali ini situasinya berbeda dan setiap pria tak dikenalnya ini memilih
untuk mengeluarkan benih-benih mereka di dalam lubang tersebut. Usai kejadian
itu, seakan tersadar dengan apa yang sudah mereka perbuat, pria-pria ini
kembali ke shower masing-masing dalam diam dan melanjutkan aktifitas mandi
mereka—ada yang segera mengeringkan tubuh dan mengenakan baju, ada yang mandi
dengan seksama membersihkan tubuh.
Anto
dan Zeni lalu membersihkan tubuh Budi. Seakan akhirnya iba, Anto membersihkan
tubuhnya dengan seksama lalu mengeringkannya. Mereka hanya melilitkan handuk di
sekitar pinggul Budi dan membopongnya kembali ke kamar di mana Donny sedang
duduk di sebelah jendela merokok sambil membaca koran.
Melihat
Anto, Zeni, dan Budi kembali ke kamar, Donny mematikan rokoknya, berdiri, dan
menghampiri mereka. Budi masih terjaga dan dengan segenap tenaganya mencoba
bangun untuk berbicara pada Donny, “Sa..ya.. janji.. saya ganti nan..ti.”
Donny
hanya tertawa. Dia menarik lepas handuk dari pinggul Budi. Lalu dia menyumpal
mulutnya dengan handuk itu. Donny melepas ikat pinggang kulit dari pinggangnya
lalu melipatnya jadi dua. Dia berjalan ke belakang Budi dan segera mendorongnya
terjatuh berlutut di lantai. Budi tidak menyangka apa yang selanjutnya
dilakukan Donny adalah menyabetkan ikat pinggang ke punggungnya. Gesper dari
sabuk itu melukai tubuh Budi, dan sedikit goresan dan darah keluar. Sekali, dua
kali, tiga kali, entah berapa kali lagi Donny terus mencambukkan ikat pinggang
tersebut ke punggungnya. Baru setelah hampir seluruh punggung Budi berwarna
merah sampai ke pantat karena lebam-lebam dan luka goresan yang cukup parah
Donny merasa puas dan berhenti. “Sampah goblok!” kata Donny.
Usai
itu semua barulah Donny dan krunya meninggalkan Budi sendiri di kamar motelnya,
tergeletak di lantai tanpa daya. Budi bahkan sudah tidak punya tenaga—jangankan
tenaga, terpikir pun tidak untuk mengunci kamarnya. Kesakitan, lelah, demam,
dia hanya berjalan ke arah ranjang, berbaring, dan dengan cepat terlelap. Budi
terus berkutat di kamar motelnya, hanya membuka pintu saat ada yang
mengantarkan makanan. Mengingat kejadian di kamar mandi itu Budi enggan untuk
menghadapi kemungkinan bertemu salah satu dari pria-pria itu. Sekitar tiga hari
kemudian lah, di tengah malam dia membeli tiket pesawat lewat laptopnya dan
segera check out dari motel itu. Badannya masih lemas dan luka-luka di
punggungnya masih belum sembuh saat dia menaiki pesawat kembali ke Jakarta.
Di
Jakarta barulah Budi mendapat tenaga lebih untuk mengunjungi rumah sakit dan
mendapat perawatan yang lebih lengkap. Selain luka-luka di punggungnya dia juga
memutuskan untuk mengecek anusnya jika-jika ada luka yang parah dan melakukan
tes anti-HIV (yang mana berhasilkan negatif). Sepulangnya dari rumah sakit dia
memutuskan untuk mampir ke mal untuk mencari angin, melepas stress dan trauma.
Dan berkat kebetulan yang teramat sangat dia melihatku duduk sendiri.
Tadi
panggilan yang diterima Budi sewaktu kita masih di mal rupanya dari pihak biro
pekerja ahli bangunan. Mereka rupanya menuntut Budi untuk kompensasi pembayaran
sesuai kontrak yang sudah mereka tanda tangani. Mendapati itu tadi Budi berniat
segera pulang untuk mengurus pembayaran dengan seluruh sisa tabungannya.
Mendengar
ini semua emosiku meluap-luap. Tadi saat Budi masih bercerita aku memutuskan
untuk terus mengendarai mobil berkeliling tanpa tujuan. Saat cerita itu usai
aku merapatkan mobil di pinggir. Terdiam sebentar, lalu tangan kiriku
menjangkau kepala Budi. Aku mengelusnya pelan, saat itu tanpa dapat berkata
apa-apa. Saat itu juga aku ingin dan mulai memikirkan cara untuk membalas
dendam kepada pria-pria yang sudah membejati pamanku, setidaknya Donny dan
Rustam. Tapi aku tahu saat itu kondisi Budi masih belum baik dan aku memutuskan
bahwa hal itu lebih penting daripada balas dendam, setidaknya untuk sementara
ini.
“Bisa
kan Budi kasih aku kesempatan buat ngejagain Budi, at least sampe Budi sehat,” kataku
sambil menatap wajahnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar