Namaku
Wendy. Umurku 22 tahun saat pengalaman ini terjadi dan sudah setahun aku
meninggalkan kota kelahiranku, Surabaya, untuk bekerja di Jakarta. Saat itu
bulan Desember. Aku baru saja rawat inap karena terkena tifus, dan aku
mengambil ijin dari kantor untuk beristirahat selama seminggu sekaligus
merayakan Natal dan tahun baru.
Setelah
'beristirahat' dua hari di rumah di Surabaya, dan karena beberapa saat
terkurung di rumah sakit, aku akhirnya merasa bosan. Siang itu pun aku cuma di
kamar saja, tiduran sambil mendengarkan musik. Adikku sedang di Bali dengan
teman-temannya, jadi di rumah hanya tinggal aku, orang tuaku, dan seorang
pembantu.
Selagi
aku sedang mendengarkan musik, berpikir untuk kontak teman-teman kuliah dulu
untuk reuni dan sebagainya, ada suara ketukan dari pintu kamarku. “ Wendy,”
serunya. Saat itu aku ngga tahu siapa itu, karena suaranya kurang familiar.
Waktu
kubuka pintu, kulihat seorang pria yang lumayan tinggi, berkulit coklat,
berambut cepak, dan mengenakan kaus polo dan celana jeans. Itu pamanku rupanya.
Sudah lumayan lama, 4 atau 5 tahun ngga ketemu. Sejak aku kecil pamanku tinggal
di Jakarta, dan memang kemarin ayah memang bilang kalau paman sedang ada di
Surabaya—ada urusan gitu lah. Cuma karena memang kurang akrab jadi ngga
kepikiran untuk ketemu. Pamanku berusia kurang lebih 35 tahun, jauh lebih muda
daripada ayahku karena ayahku anak pertama dan dia anak terakhir dari 5
bersaudara.
Yang
kudengar dari rumor-rumor keluarga sih pamanku beberapa tahun yang lalu cerai
dengan istrinya. Sebabnya karena pamanku ketahuan selingkuh. Karena itu pula
makin negatif pandanganku tentang dia. Anehnya waktu itu juga, dia di depan kamarku,
kita bertatap muka, dan saat dia tersenyum, semua pikiran negatif itu seakan
ngga pernah ada. Aku pun membalas tersenyum.
“Oh
Budi, udah lama ngga ketemu ya,” sapaku sok akrab.
“Masih
sama aja dari kecil ngga sopan manggilnya!” katanya dengan nada bergurau. Di
keluargaku sebenarnya ada budaya memanggil yang lebih tua dengan sebutan
khusus, cuma aku aja yang dari kecil bandel. “Gimana kabar kamu? Udah sehat?”
Selanjutnya
kita ngobrol sedikit di tempat yang sama, di sekitar pintu kamarku— aku terlupa
untuk mengundangnya masuk atau apapun. Sampai akhirnya aku ingat, dan
kutawarkannya untuk masuk. Ya kamarku saat itu cukup rapi sih, secara sudah
lama ngga ditinggali.
Pamanku
menolak untuk masuk, katanya cuma mampir sebentar sebelum ketemu orang. “Kamu
kalau bosan main ke hotel aja. Kita makan-makan, renang—udah ngga apa-apa kan
renang?”
Aku
dari kecil memang ngga bisa renang sih, jadi bukan karena masih baru sembuh atau
apa. Tapi aku menyanggupi ajakannya, “Ya udah nanti aku ke sana deh. Hotel
mana?”
“Di
Hilton. Jauh ya dari sini. Gampang nanti Budi jemput kalau udah selesai— Budi
ada sewa mobil.”
Setelah
pamanku pulang aku berpikir bahwa rupanya pamanku baik juga orangnya—bodo amat
dia cerai karena selingkuh, toh soal itu ngga ada hubungannya sama aku. Setelah
aku bilang ke orang tua kalau malam nanti mau ke tempat paman, aku pun kembali
ke kamar, lanjut mendengarkan musik, dan tertidur. Barulah sekitar pukul 6 sore
pamanku datang kembali menjemputku.
Rupanya
orang yang ditemui pamanku adalah teman bisnisnya. Namanya Rustam, umurnya
mungkin sekitar 40, agak pendek—lebih pendek dariku, dan badannya agak gemuk.
Sewaktu di mobil mereka terlihat cukup akrab walau baru kenal, karena sama-sama
hobi nonton sepak bola. Mereka berencana untuk menonton sepak bola bareng malam
nanti, di TV, entah pertandingan antara apa dengan apa. Aku kurang minat dengan
sepak bola, jadi asal dengar saja di jalan.
Sesampainya
di hotel—hotel yang aku lumayan suka, karena bentuknya pondok- pondok berasa
asri daripada kamar hotel umumnya yang di gedung tinggi lantai
sekian—sesampainya di hotel, karena sudah cukup malam, teman pamanku ijin mandi
di sana.
Sewaktu
mandi dia tidak menutup rapat pintunya. Aku dan pamanku pun tidak iseng
mengintip pastinya. Hanya saja beberapa lama kemudian terdengar shower yang
dimatikan, dan, “Wendy, tolong ambilin sikat gigi dari tas saya,” serunya dari
dalam kamar mandi. Aku pun mengambilnya dan sambil memalingkan muka dari arah
kamar mandi, aku mengulurkan tangan. Kaget juga waktu Rustam tiba-tiba membuka
pintunya lebar-lebar untuk menerima sikat giginya. Dia masih telanjang bulat,
sedang mengusap-usap tubuhnya dengan handuk. Kulitnya agak coklat, perutnya
buncit, dan kontolnya yang masih lemas terlihat kecil. Bulu-bulu lebat di
sekitar lengan, ketiak, paha, kontol, sampai perut bawahnya.
Aku
agak gugup dan setelah memberikan sikat giginya aku berlagak biasa saja dan
kembali ke ranjang untuk nonton TV. Bagi sesama lelaki sepertinya memang hal
biasa. Tapi aku kan beda. Selagi aku berpikir gugup, pamanku tertawa.
“Wendy
baru pertama kali lihat cowok lain telanjang?” tanyanya sambil nyengir. Pamanku
baru saja melepas kausnya, dan hanya meninggalkan celana jeansnya—sepertinya dia
juga mau mandi. Tubuh pamanku lumayan seksi, kulitnya coklat tua dan
otot-ototnya lumayan terbentuk. Di dadanya tampak ada sedikit bulu. Sebenarnya
waktu masih kecil juga pernah lihat dia cuma mengenakan celana dalam, sewaktu
dia menginap di kamarku. Tapi namanya waktu itu masih kecil, ngga merhatiin
juga.
Rustam
pun terdengar ikut tertawa dari balik pintu kamar mandi. Aku makin bingung mau
jawab apa. Akhirnya aku jawab, “pernah lah!”
“O
ya?” balas pamanku sambil sekarang mulai melepaskan celananya. Dia berdiri
dengan hanya celana dalam berwarna biru dan mulai berlagak binaraga di depanku.
“Nih, keren kan.”
Aku
cuma bisa jawab, “iya deh.” Aku terus melihat pamanku berpose ini dan itu, lupa
sesekitar. Susah melepas pandanganku dari tubuh pamanku yang seksi, apalagi
ditambah pose-posenya. Tapi pamanku hanya tertawa-tertawa saja. Rustam yang
sudah keluar dari kamar mandi hanya menepuk-tangani pamanku, sampai akhirnya
pamanku berhenti berpose. Pamanku lalu bilang, “Makanya kamu fitness. Sini
Wendy, coba pegang dada Budi.”
“Ngga
ah,” balasku. Tapi dia menarik tanganku dan membawanya ke dadanya yang tebal
berotot. Pamanku memang hanya sedang pamer. Dia bahkan ngga ngaceng—tapi aku
sudah mulai ngaceng, apalagi pas pegang dadanya. Tangan pamanku membawa
tanganku turun ke perutnya yang kencang. Badanku makin panas, aku makin gugup,
dan makin ngaceng. Aku pun nekad, sudah tidak memikirkan bahwa dia pamanku dan
ada temannya di sini. Aku nekad menurunkan tanganku dan menyentuh kontol
pamanku.
Rustam
tertawa melihatku. Sepertinya dia berpikir bahwa ini hal biasa, aku yang masih
masa-masa penasaran dan belum berpengalaman. Dia mendekatiku dan katanya, “sini
pegang punya saya juga. Sekarang masih kecil tapi kalau udah berdiri gede.”
Aku
makin nafsu, dan dengan gugup, tangan kiriku masih memegang kontol pamanku,
tangan kananku menggapai kontol Rustam. Kedua tanganku tidak bergerak, hanya
menggenggam kontol-kontol kedua pria ini. Tak lama kemudian, dalam sunyi, kedua
kontol mereka ikut ngaceng.
“Waduh,
kalau dipengangi terus, meski cowo yang pegang, juga tetap keras jadinya,” kata
pamanku. “Gimana kalau kita onani sama-sama?”
“Lu
udah lama ngga dapet ya Bud? Gue sama istri sih masih sering. Tapi boleh juga
nih onani bareng. Wendy yuk sama-sama, ngga usah malu-malu. Ngga ada yang perlu
disembunyiin juga, sama-sama cowo. Kocokin saya juga boleh, nanti saya traktir
makan—ngga apa kan Bud?” kata Rustam, sedikit tertawa.
Pamanku
hanya tersenyum mengangguk. Jantungku berdebar kencang mendengar ini semua,
mengalami ini semua. Aku ngga peduli dengan traktirannya—aku bisa beli makan
sendiri, pikirku. Hanya saja ini semua masih susah aku percayai benar-benar
terjadi. Aku dan dua pria dewasa, satunya pamanku sendiri, akan ngocok bareng.
Kulepaskan
genggaman tanganku dari kedua kontol mereka yang sudah keras. Rupanya benar
kata Rustam, kontolnya sewaktu ngaceng cukup panjang dan gemuk—18 cm kira-kira.
Sedangkan kontol pamanku hanya sekitar 15 cm— panjangnya persis sama dengan
kontolku waktu ngaceng, bahkan bentuknya juga mirip, hanya lebih gemuk punyaku.
Kontol Rustam disunat sedangkan kontol pamanku tidak, sama dengan kontolku.
Aku
membuka ritsleting celanaku dan kutarik kontolku keluar dari balik celana
dalam. Saat itu aku sudah ngaceng keras 100%. Aku mulai mengocok kontolku
sendiri sambil melihat pamanku dan Rustam ikut duduk di sebelah kanan dan
kiriku di ranjang dan mulai mengocok kontol masing-masing.
Di
TV sedang ada acara balap mobil, dan pandangan pamanku dan Rustam sama-sama
tertuju ke sana—tapi aku rasa mereka tidak benar-benar menontonnya. Aku melihat
ke kiri dan ke kanan ke arah kontol keduanya. Mukaku panas. Aku sudah sangat
nafsu dan mulai merasa hilang akal. Sedikit air liurku keluar dari ujung
bibirku menetesi kausku. Aku menurunkan badanku perlahan, tanpa sadar, ke ujung
ranjang yang berlawanan, kepalaku mendekati kontol keduanya, mataku terutama
tertuju pada kontol Rustam yang besar.
Pamanku
sepertinya khawatir. “Wendy mau apa?”
Aku
tidak menjawabnya, dan mataku tetap tertuju kontol Rustam. Wajahku sudah tepat
di hadapan kontolnya. “Mau coba?” tanya Rustam. Mendengarnya, aku langsung
menempelkan wajahku ke kontolnya. Kuhirup dalam-dalam aroma kontolnya dan
kujilat ujungnya.
“Astaga!”
teriak pamanku. “Gila kamu Wen! Pak Rustam!”
“Diem
Bud. Lu biarin aja Wendy ngoral gue. Kalau ngga gue batalin kontraknya,”
ucapnya dengan soknya.
Pamanku
terdiam. Dia terlihat bingung apa yang harus dia lakukan. Di satu sisi dia
khawatir soal aku, di sisi lain dia tahu aku yang memang mau ngisep kontol
Rustam dan deal bisnisnya sepertinya juga penting baginya. Dia pun terdiam.
Rustam
lalu mengulurkan tangannya, menaruhnya di kepalaku, dan menekan- menarik
kepalaku dengan kontolnya yang memenuhi mulutku. Aku mulai susah menerima
kontolnya dan agak tersedak. Melihatku, Rustam menarik kepalaku sampai kontolnya
keluar dari mulutku. Tapi hanya sebentar saja, dan setelahnya dia langsung
menekan kepalaku lagi sampai kontolnya masuk sepenuhnya di dalam mulutku. Dia
lalu membiarkan wajahku terbenam di bulu-bulu kemaluannya dan perut bawahnya
yang buncit. Aku tersedak tapi sekaligus menikmati wajahku yang terbenam di
bulu-bulu kemaluan yang lebat itu. Selang beberapa detik dia menarik lagi
kepalaku. Kontolnya sepenuhnya basah oleh air liurku. Aku masih ingin
mengulumnya, tapi Rustam sepertinya punya ide lain.
“Wen,
coba cicip punya paman kamu,” kata Rustam dengan nada agak memerintah.
Pamanku
hanya terdiam. Sepertinya dia masih bingung dengan semua ini, melihat
keponakannya menghisap kontol pria lain. Aku pun ragu untuk melakukan kata
Rustam, karena bagaimanapun Budi adalah pamanku. Tapi, “ udah cepat sana,” kata
Rustam.
Aku
bergerak ke arah pamanku dan menatapnya. Pamanku terlihat agak sedih. Aku juga
khawatir jika aku tidak melakukan seperti kata Rustam deal mereka bisa batal,
jadi aku pun menuruti. Aku menundukkan kepalaku mendekati kontol pamanku yang
agak lemas. Seperti tadi, aku mencium aroma kontolnya terlebih dahulu, mencium
bulu kemaluannya, menjilati batang kontolnya—naik dan turun beberapa kali,
menjilati kulupnya, dan akhirnya memasukkan kontolnya ke dalam mulutku,
menghisapnya, memainkan lidahku di sekitar kontolnya. Tak lama kemudian
kontolnya mengeras sepenuhnya, dan pamanku mulai mendesah- desah. Pamanku
mungkin memang benar-benar sudah lama tidak berhubungan seks, jadi terlihat dia
bahkan lebih nafsu daripada Rustam.
“Paman
sama keponakan, kalian memang cocok,” kata Rustam. Dia menarik lepas celana
jeans dan celana dalamku. Dipegangnya bokongku dengan kedua tangannya. Aku
sebenarnya malu soal bokongku, karena bulu-bulu yang tumbuh lebat di sekitar lubangku.
Aku sendiri agak jijik soal itu. Tapi rupanya Rustam tidak masalah soal itu.
“Pantat kamu kayak pantat cewe, Wen.” Rustam lalu membenamkan wajahnya di sela
bokongku dan lidahnya menjilati lubangku. Rustam menjilat rakus bokongku, dari
pangkal kontolku sampai ke lubangku. Lalu dia memasukkan lidahnya ke dalam
lubangku. Aku merasakan sensasi yang sangat nikmat pertama kalinya. Aku memang
kadang ngocok sambil lubang sendiri kumasuki dildo, tapi belum pernah ada yang
menjilati lubangku.
Setelah
beberapa lama aku menghisap kontol pamanku sendiri dan Rustam menjilati lubang
pantatku, kita terhenti. Rustam menarik aku lepas dari kontol pamanku. Dia
menarik kedua kaki pamanku lebar-lebar ke samping kanan-kiri, dan kepalanya
mendekati lubang pamanku. Bokong pamanku mirip dengan bokongku, berbulu di
sekitar lubangnya, cuma kulitnya lebih coklat dan bokongnya lebih kencang
berotot. Kedua paha pamanku terbuka lebar dan Rustam mulai menjilati lubangnya.
Aku
menatap pamanku yang makin kencang mendesah. Aku melihat bibirnya yang tebal,
matanya yang tertutup, dan kuciumnya. Aku sepertinya jatuh hati dengan pamanku
sendiri, dan sepertinya sudah sejak awal bertemu tadi siang. Sosoknya yang
sekarang, telanjang bulat, seluruh ototnya menegang, kontolnya berdiri tegak lurus,
dan pahanya yang terbuka lebar membuatku makin nafsu. Pamanku awalnya terdiam
mendapat ciumanku, tapi tak lama kemudian membalas ciumanku dengan pelan. Dan
kita menikmati berciuman.
Rustam
berhenti menjilati lubang pamanku dan sebagai gantinya memasukkan jarinya.
Pamanku sedikit mengerang kesakitan, hanya kontolnya tetap sepenuhnya ngaceng.
Rustam perlahan-lahan menambahkan jarinya yang masuk ke dalam lubang pamanku.
Melihatnya aku makin nafsu. Jujur saja saat itu aku tidak sabar melihat Rustam
memasukkan kontolnya yang besar ke lubang pamanku. Aku lanjut dengan mengocok
kontolku sendiri dan melumat puting pamanku yang sudah keras dan berwarna
coklat tua. Pamanku mendesah makin keras, sepertinya antara sakit dan nikmat.
“Wen,
coba masukin kontol kamu ke sini,” perintah Rustam. “Pasti enak, nih lobang
masih sempit.”
Aku
bingung mendengarnya. Aku pikir Rustam sendiri yang akan melakukan hal itu.
Mungkin dia hanya ingin menonton seorang keponakan mengentoti pamannya sendiri,
pikirku saat itu. Orang ini agak aneh, lanjutku berpikir. Tapi aku terus terang
ingin juga melakukannya sendiri. Daripada orang lain mengentoti pamanku, lebih
baik aku sendiri yang mengentoti.
Rustam
mengambil conditioner dari dalam kamar mandi dan mengoleskannya ke kontolku dan
lubang pamanku.
“Budi,
ngga apa?” tanyaku pelan, bergerak menggantikan Rustam di belakang selangkangan
pamanku.
“Udah
ngga apa. Kalau ngga nurut tau kan akibatnya,” seru Rustam. Pamanku hanya
mengangguk, menutupi matanya dengan lengannya. Aku bertanya-tanya apa yang
sedang dipikirkan pamanku. Malu, mungkin.
Aku
tidak berpikir lebih panjang lagi dan segera memasukkan seluruh kontolku ke
lubang pamanku. Pamanku mengerang keras kesakitan. Ini pertama kalinya bagiku,
jadi aku kagok dan terkaget mendengarnya. Aku berhenti bergerak. Pamanku
mengangguk lagi. Aku mengangkat kedua paha pamanku dan mulai bergerak
maju-mundur. Aku merasakan nikmat yang teramat sangat, kontolku di dalam lubang
pamanku yang hangat. Gerakanku makin cepat, dan tak lama kemudian aku sudah
merasakan akan keluar.
“Udah
mau nih!” seruku. Aku mengentot makin keras dan desahanku dan desahan pamanku
makin menjadi-jadi. Rustam berbaring di sebelah pamanku sambil santai menonton.
“Udah mau keluar nih!” seruku lagi.
“Keluarin
aja,” kata Rustam.
“Ah!
Ah! Ah! Gila enak! Ahhhh!” Sambil tetap mengentoti pamanku, spermaku menyembur
ke bagian terdalam lubangnya berkali-kali. Pamanku pun ikut mencapai klimaks.
Sambil hanya memegang kontolnya, tanpa dikocok, pejunya muncrat ke mana-mana
membasahi seluruh tubuhnya sampai ke muka.
Rustam
menarikku menjauh dari pamanku, kontolku keluar dari lubangnya. Dia bergegas
memasukkan kontolnya ke dalam lubang pamanku yang masih penuh dengan spermaku.
Dia tidak menunggu pamanku untuk siap dan, kedua tangannya menahan kedua paha
pamanku lebar-lebar, dia dengan cepat langsung maju-mundur mengentoti pamanku
yang hanya terbaring lemas.
Sekitar
lima belas menit telah berlangsung dan Rustam masih terus dengan kencang
mengentoti pamanku. Pamanku pun sudah ngaceng lagi. Aku hanya di sana menghisap
puting pamanku lagi, menikmati tubuhnya dan beberapa tetes peju pamanku yang
ada di sekitar putingnya. Tak lama kemudian pamanku pun keluar untuk kedua
kalinya, pejunya muncrat ke mana-mana lagi. Dan akhirnya Rustam melepaskan
kontolnya dari dalam lubang pamanku dan dengan cepat mengocok kontolnya,
mengeluarkan semua pejunya di wajah dan mulut pamanku.
Seusainya
aku hanya terbaring diam di sebelah pamanku, masih belum percaya semua ini
terjadi. Pamanku juga terdiam, lengannya masih menutupi kedua matanya. Rustam
segera ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Beberapa saat kemudian dia
keluar, masih telanjang bulat. Sambil mengelap tubuhnya dengan handuk, dia
mengambil ponselnya seperti mengecek sesuatu. “Sampai ketemu bulan depan di
Jakarta. Saya balik dulu, dicari istri. Sukses ya!” kata Rustam, seakan tidak
terjadi apa-apa.
Pamanku
masih terdiam. Aku bangun dari ranjang dan membantu Rustam berberes dan
mempersilahkannya pulang. Setelah dia pergi aku menutup pintu kamar hotel. Aku
mengambil handuk dan kembali ke ranjang, mengelap tubuh pamanku. Dan selagi aku
masih mengelap, aku merasakan desakan dari tubuh pamanku.
Aku
melihat ke arah wajah pamanku dan kulihat pamanku menahan tangis. Aku sudah
bersalah pada pamanku, membuatnya malu sampai sejauh ini. Tapi aku tidak dapat
menahan rasa sayangku pada pamanku yang makin besar. Seusai mengelap tubuhnya,
meski masih agak lengket-lengket, aku berbaring di sebelahnya dan menariknya ke
dekapanku sambil kuelus kepalanya. Pamanku tetap menahan diri untuk tidak menangis.
Aku hanya mencium dahinya dan berkata, “aku sayang Budi. Aku udah ada rasa dari
tadi siang. Budi jangan nolak ya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar