Malam
itu aku sedang duduk sendiri di sebuah kafe di Jakarta. Tadinya aku bersama
teman-temanku, ceritanya merayakan ulang tahunku yang ke-23, tapi mereka sudah
pulang. Memang tadinya mereka menawarkanku untuk pulang bareng, hanya saja
malam itu aku sedang ingin lebih lama di luar sendiri, jadi aku bilang saja ke
mereka, “Gampang ntar gue ambil taksi, gue masih mau ke Food Hall dulu.” Meski
sebenarnya sejak tadi aku belum beranjak dari kursi yang sama.
Dari
posisiku duduk dapat memandang ke luar, ke jalanan tengah kota Jakarta yang
basah terkena hujan dan mulai sepi. Sambil memegang ponsel, jariku bergerak
sana-sini, sekedar menunjukkan orang-orang kalau aku ngga bengong, padahal
pikiranku hanya mengawang. Antara lelah, galau, dan kesepian. Aku kangen Budi.
Setelah
kejadianku dengan pamanku dan temannya hari itu, hampir setahun yang lalu, aku
sudah menjalani hubungan dengan beberapa laki-laki lain. Cerita singkatnya aku
ditolak pamanku. Cerita lebih akuratnya selama dua minggu kita sudah mencoba
untuk menjalani hubungan yang lebih dekat, tapi dia terlalu takut ketahuan—oleh
saudara, rekan kerja, dan lainnya. Dan dia memutuskan untuk menjaga jarak.
Nomor kontak dan fotonya masih ada di ponselku, dan di saat iseng seperti ini
lah—di saat jari-jariku membolak-balik halaman, scroll atas-bawah tanpa tujuan,
terkadang terlihat fotonya—senyumnya yang terpampang beku dalam frame foto
kecil itu, dan setiap kali waktu serasa terhenti.
Kita
sudah ngga pernah kontak lagi. Terkadang, terutama belakangan, aku makin ragu
untuk menghubunginya lagi. Banyak hal yang kulakukan yang membuatku malu dengan
diri sendiri. Misalnya kejadian kemarin. Kemarin tengah malam, untuk mencari
angin karena belum bisa tidur juga, aku jalan keluar dari kamar apartemenku
dengan hanya mengenakan kaus lengan panjang, celana tidur pendek, dan sandal.
Aku berjalan cukup jauh di kegelapan itu dan, mungkin karena dinginnya angin malam,
tiba-tiba aku merasa ingin kencing. Karena jalan kembali ke apartemen cukup
jauh dan di sekitar ngga terlihat ada WC umum, aku memutuskan untuk kencing di
pinggir jalan.
Jalanan
malam itu cukup sepi, dan kebetulan ada pos ojek yang sudah kosong. Aku kencing
di belakang pos itu menghadap ke selokan air. Aku tarik celanaku turun sedikit
untuk mengeluarkan kontolku dan beberapa saat kemudian air kencingku menyembur
keluar. Baru juga mulai kencing tiba-tiba ada tukang ojek yang berhenti di pos
ojek itu. Dia menyelinap ke belakang pos, menatapku, dan membuka ritsleting
celananya. Awalnya aku tetap tenang saja kencing di sana, tapi tukang ojek ini
bergerak mendekatiku dan menarik celana dalamnya turun sampai ke bawah
pelernya—cukup turun untuk mendapat perhatianku.
Aku
mencuri pandang ke arah kontolnya kemudian menatap wajahnya sebentar. Tukang
ojek ini usianya sekitar 40, di remang lampu jalanan terlihat dia berkumis dan
kerutan-kerutan di wajahnya yang berkulit gelap. Perutnya sedikit buncit,
badannya agak tinggi, mengenakan kaos dan jaket kulit hitam dan celana jeans.
Dia membalas pandanganku. Kemudian aku mencuri pandang lagi ke arah kontolnya.
Dia tidak kencing. Tangan kirinya menahan celananya, tangan kanannya
mengelus-elus batang kontolnya dan pelernya. Jari-jarinya bergerak ke arah
atas, menarik sedikit kaus hitamnya, lalu megusap bulu pubisnya yang lebat,
kontolnya perlahan memanjang dan membesar. Lalu dia mendorong pinggulnya ke
depan, makin menonjolkan kontolnya. “Mau ngga?” tanyanya pelan.
Aku
selesai kencing, menarik celana, dan mengangguk. Sudah beberapa kali aku ngocok
dengan membayangkan pria-pria pekerja kasar. Memang ini bukan tukang bangunan
atau nelayan kapal, tapi tukang ojek masuk kriteria fantasi jorokku. “Ke
tempatku aja,” kataku.
Kita
berdua menaiki sepeda motornya dan pergi menuju apartemenku. Selama di
perjalanan kita saling memperkenalkan diri. Nama dia Teja, mungkin dari
Sutedja. Sesampainya di apartemen agak gugup juga waktu dilihatin penjaga lobby
apartemen—aku membawa pria paruh baya yang terlihat, ya, singkat kata membuat
tanda tanya. Tapi masa bodo lah. Sesampainya kita di kamar apartemenku, dia
membuat beberapa komentar soal kamarku yang nyaman dan lainnya, lalu
menceritakan klien dia yang tinggal di apartemen yang 10 kali lebih mewah
daripada punyaku. Ya terserah deh, pikirku.
Aku
membawanya ke kamar mandiku, berniat mencuci kontol masing-masing dulu. Seusai
kita melepas celana, Teja tiba-tiba menarik pundakku keras-keras dengan kedua
tangannya. Aku terjatuh di lantai, dan untungnya kamar mandiku cukup ada ruang
kosong. Dia menarik rambutku, memasukkan jarinya ke mulutku dan menarik
rahangku ke bawah. Lalu dia segera kencing. Air kencingnya diarahkan ke wajah
dan mulutku. Air kencingnya yang berwarna kekuningan membasahi seluruh tubuh
dan kausku. Rasanya pahit dan baunya tajam. Tanpa basa-basi sesaat sebelum dia
akan selesai kencing dia menyogok kontolnya masuk ke dalam mulutku. Aku
tersedak oleh air kencingnya yang memenuhi mulutku dan terpaksa kutelan. Saat
itu juga aku mau muntah. Tapi sebelum aku bisa memberontak Teja segera
mengentoti mulutku, menyodokkan kontolnya yang sudah ngaceng. Kontolnya sekitar
17 cm, dan batangnya cukup tebal, memenuhi semua bagian mulutku.
Sembari
mengentoti mulutku dia melepas jaket dan kausnya, memperlihatkan kulitnya yang
sepenuhnya cokelat tua, putingnya yang nyaris hitam, dan perutnya yang agak
buncit karena usia. Seakan puas mengentoti mulutku, dia berhenti dan menarik
lepas kausku. Lalu aku ditariknya berdiri. Teja membungkuk dan menciumi
putingku dengan kasar, kumisnya membuatku geli. Kemudian dia melepas putingku,
mengangkat lengan kanannya, menarik kepalaku ke ketiaknya. “Jilat.”
Bau
apek dan kecut menusuk hidungku. Aku tersedak mau muntah, tapi Teja makin
menekan-nekan wajahku ke ketiaknya. “Jilat cepetan.” Dengan ragu-ragu aku
menjulurkan lidahku ke ujung helai-helai bulu ketiaknya yang lebat. Tanpa
menunggu aku siap, Teja menekan kepalaku lagi, menggencet lidah dan bibirku ke
ketiaknya. Eneg dengan rasa ketiaknya, aku lebih menggunakan bibirku untuk
melumat ketiaknya, baunya tetap menusuk hidungku. Dia mulai ngocok, sambil
mendesah-desah. “Cina emang enak,” erangnya.
Beberapa
menit kemudian Teja menyemburkan spermanya ke lantai kamar mandiku. Tapi dia
tidak berhenti. Dia menyuruhku untuk berbaring di lantai, kedua kakiku
ditariknya mengangkang, dan dia menyuruhku untuk memainkan lubangku dengan jari
sambil ngocok. Teja hanya berdiri memandangiku, kaki kirinya menelusuri
tubuhku. Lalu Teja jongkok di sekitar kepalaku. Aku langsung ketakutan, takut
bisa-bisa dia berniat buang air di wajahku. Tapi untungnya tidak. Teja
menempelkan pangkal kontolnya ke mulutku dan dia bergerak maju mundur. Pelernya
yang berbulu menutupi hidungku dan kontolnya yang masih lemas tepat di depan
mataku. Bau selangkangan dan kontol membuatku mabuk. Teja terus
menggesek-gesekkan pangkal kontolnya dengan mulutku. Tak lama kemudian
kontolnya mulai mengeras dikocoknya sendiri sambil mendesah.
Karena
bau yang membuatku jijik, seberapa lama pun aku mengocok kontolku, aku susah
untuk nafsu lagi. Teja, di lain pihak, sepertinya tidak peduli dan menikmati
semua ini. Tak lama kemudian kontol Teja sudah sepenuhnya keras lagi, dan Teja
meludah beberapa kali di telapak tangannya. Dia mengusapkan air liurnya pada
kontolnya, bersujud di antara kedua pahaku, dan mengarahkan kontolnya di
lubangku. Kontolnya yang tebal dipaksa masuk ke dalam lubangku yang belum siap.
Aku pun mengerang kesakitan. Teja bergerak cepat mengentoti lubangku, ujung
kontolnya terasa menyodok prostatku, pelernya menampar-nampar bokongku. “Ahh!
Enak gila! Ngentotin Cina! Ahh!”
Aku
hanya terus mengerang-erang karena kesakitan. Untungnya aku tahu kamar sebelah
kamar apartemenku masih belum dihuni. Gerakan menyodok Teja penuh dengan
tenaga, badanku terus terguncang maju mundur.
Tak
lama kemudian dia mencapai klimaks, beberapa denyutan kontolnya dapat
kurasakan. Tapi tidak semuanya dia keluarkan di dalam lubangku—dia kembali
jongkok di sekar wajahku dan menyodokkan kontolnya masuk ke dalam mulutku, dan
menyemburkan sisa spermanya di dalam sambil tangan kanannya menahan kepalaku
untuk tidak bergerak. Bau kontolnya dari dalam lubangku, apek selangkangannya,
dan rasa peju membuatku makin mabuk ingin muntah. Aku sama sekali belum keluar,
terbaring di lantai kamar mandi yang dingin dan kontolku makin lemas. Tapi Teja
tidak terlihat peduli. Dia bergegas mencuci kontolnya di wastafel dan
mengenakan baju. “Gue turun sendiri aja,” katanya singkat dan dengan segera
keluar dari kamar apartemenku. Cukup lama aku terbaring di sana, masih kaget
dengan semua itu. Aku baru mulai coli sekitar lima belas menit kemudian, tangan
kananku mengocok dan tangan kiriku memainkan lubangku yang masih basah dialiri
peju Teja.
Begitulah
kejadiannya kemarin malam, sehari sebelum hari ulang tahunku. Mengingatnya
membuatku merasa kotor, merasa tidak layak lagi untuk Budi. Aku menyesal sudah
melakukannya dengan tukang ojek itu. Tidak seperti fantasiku, kenyataannya aku
membenci baunya dan semua itu hanya membuatku merasa jorok dan sedikit trauma.
Mengingat semua ini aku hanya bisa melepas nafas dalam-dalam.
Tak
disangka, di tengah-tengah kegalauanku itu, tiba-tiba aku menerima pesan di
ponselku. “Apa kabar Wendy?” dari Budi. Aku tersentak kaget, mulutku menganga,
mataku membelalak, dan kemudian bibirku tertarik ke atas—tersenyum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar